Petilasan Prabu Airlangga
Jangan
tertipu dengan namanya. Meski disebut candi, bangunan kuno yang disebut
Candi Menggung ini hanya berupa dua arca batu. Sejarahnya masih kelam.
Para arkeolog belum menemukan satu pun prasasti sebagai petunjuk. Namun,
warga setempat meyakininya sebagai petilasan Prabu Airlangga.
Candi
Menggung berada di puncak bukit kecil desa Nglurah, Tawangmangu,
Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Wujudnya hanya berupa dua buah arca
batu yang diberi pagar kurung tanpa atap. Dua arca itu penggambaran
Tumenggung Narutama dan istri selirnya, Dewi Roso Putih. Dipercaya,
Tumenggung Narutama adalah patih Prabu Airlangga. Masyarakat setempat
juga meyakini, Candi Menggung atau Situs Menggung itu adalah petialsan
bertapa Prabu Airlangga, sebelum muksa di Gunung Lawu.
Prabu
Airlangga, dalam sejarahnya merupakan putra Raja Udayana Warmadewa,
yang berkuasa di Bali pada tahun 988-1011 Masehi. Dari kisahnya,
terungkap sejarah terbentuknya peradaban Nusantara. Peradaban Nusantara
merupakan hasil sentuhan budaya bangsa pengembara dari Saka di India,
yang masuk ke Nusantara ketika Nusantara masih dalam masa prasejarah.
Bangsa Saka menanamkan pemahaman tentang seorang penguasa tunggal yang
memiliki kuasa dari Shang Hyang Wenang, dan merupakan titisan dewa yang
diberi tugas mengatur jagat mayapada dan isinya. Sejak itu, muncullah
kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara dengan pemimpin tunggal atau raja
yang dipercaya titisan dewa.
Terbentuklah
Kerajaan Mulawarman di Kutai, Sriwijaya di Sumatera, Mataram Kuno di
Jawa Tengah, dan Tarumanegara di Jawa Barat. Saat itu, Nusantara dikenal
dengan nama Jawa Dwipara untuk kepulauan Jawa, dan Swarna Dwipara untuk
kepulauan Sumatera. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, raja berasal dari
wangsa Sanjaya. Di Kutai-Kalimantan serta Sumatera, raja berasal dari
wangsa Warmadewa. Fakta tersebut berdasarkan beberapa prasasti dan
peninggalan-peninggalan sejarah lainnya, yang masih menggunakan huruf
Palawa dengan bahasa Sansekerta.
Di
bali, dua wangsa tersebut saling bersaing berebut kekuasaan. Perebutan
kekuasaan itu agak mereda dengan munculnya Raja Udayana Warmadewa,
dengan permaisurinya, Gunapriya Darmapatni. Sementara itu di Jawa Timur,
juga bermunculan kerajaan-kerajaan Hindu. Demikian pula di daerah lain
di Nusantara. Gunapriya Darmapatni sendiri adalah putri Sri Dharmawangsa
Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa, Raja Daha di Jawa Timur. Daha yang
sering pula disebut Kahuripan, di masa Prabu Jayabaya kemudian lebih
dikenal dengan nama Kediri.
Ketika
raja Daha di Jawa Timur tersebut wafat, kakak Gunapriya Darmapatni yang
bernama Kameswara, menjadi raja di Daha. Sudah itu, bertahun-tahun
kemudian Airlangga menggantikannya menjadi raja di Daha pada tahun
1019-1085 Masehi, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara
Darmawangsa Erlangga Ananta Wikrama Tungga Dewa. Gelar ini menjadi
penyebab terputusnya Airlangga dari garis wangsa Warmadewa, dan berujung
pada pecahnya Daha menjadi dua, Jenggala dan Kediri.
Dikisahkan,
Prabu Airlangga memiliki dua putra, Sri Jayabhaya dan Sri Jayasabha.
Khawatir terjadi perang saudara di antara kedua putranya, Airlangga
mengutus Empu Baradah menemui ayahandanya di Bali, dan meminta tahta
untuk salah seorang putranya. Permintaan itu ditolak, karena Airlangga
dianggap telah melepaskan haknya di Kerajaan Bali, dengan menjadi raja
di Daha. Karena itu, dengan terpaksa Prabu Airlangga memecah kerajaannya
menjadi dua.
Setelah
membagi kerajaannya menjadi dua, beberapa tahun kemudian Prabu
Airlangga wafat. Tetapi, masyarakat desa Nglurah meyakini Prabu
Airlangga pernah singgah di desa itu, dan membangun candi sebagai
pertapaan. Meski tak ditemukan satu pun prasasti di candi itu, warga
setempat meyakini candi itu sebagai petilasan Prabu Airlangga. Bagaimana
ceritanya? (to be continued..) http://kyaisengkelat.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar