Masih pantaskah demokrasi yang dianut saat ini
dianggap sebagai sebuah kunci yang bisa digunakan untuk mengurai
kekusutan sistem bernegara kita hari ini. Noreena Herzt membatah semua
konsep yang dianut oleh masyarakat dunia yang menganggap bahwa kehidupan
bernegara sangat ditentukan oleh sistem demokrasi kita.
Dengan lugas Herzt mengungkapkan bahwa demokrasi telah mati. Kematian demokrasi ini seiring dengan kuasa dan mengguritanya korporasi-korporasi besar penganut kapitalisme global. Semua sektor diselingkuhi oleh para kapitalis ini dengan romantis tanpa peduli dengan kehidupan masyarakat lain.
Kuasa bisnis merampas paksa kuasa negara dan menempatkannya sebagai predator yang memangsa rakyat demi kepentingan bisnis. Perampasan kuasa negara oleh korporasi membunuh hak dan wewenang para politisi, kuasa pengusaha lebih tinggi dibanding kuasa para politisi.
Matinya demokrasi ini semakin mengokohkan kuasa para korporat besar dalam menggeruk keuntungan dalam dunia bisnis. Kuatnya pengaruh dunia korporasi dalam mencampuri persoalan pemerintahan menyebabkan tumpulnya pembelaan negara atas masyarakat.
Negara tidak lagi memiliki kewenangan yang kuat untuk mengeksekusi setiap kebijakan publik, kewenangan eksekusi ini sudah ditentukan oleh kekuatan korporasi. Intervensi korporasi dalam bidang kebijakan publik dengan pasti telah menempatkan posisi negara pada sisi lunglai. Kuasa korporatis dalam menjajah kewenangan negara telah jauh mengantarkan kehidupan masyarakat dunia pada kehidupan materialisme.
Perilaku ini sengaja diciptakan untuk mempertahankan hegemoni dan dominasi korporasi untuk tetap berdiri dengan gagah dalam penguasaan ekomomi.
Sesuatu yang sulit diabad ini menemukan sektor yang tidak diselingkuhi oleh korporasi, politik dan bisnis telah melakukan perselingkuhan dengan bebas. Perselingkuhan ini terjadi pada level tingkat tinggi yang menghasilkan konspirasi bisnis-politik. Semua sektor telah disetubuhi dengan romantis dan koersif oleh korporasi.
Untuk menyamarkan perselingkuhan ini, korporasi berusaha menampilkan politik wajah kembar dimana pada satu sisi memperlihatkan kerakusan sementara pada sisi lain memperlihatkan jiwa kedermawanan yang dengan kekuatan bisnisnya mensponsori segala kegiatan amal seolah mereka adalah sosok evangelis pembela kepentingan orang banyak.
Slogan Laissez faire hanyalah sebuah argumen yang membuat cengkeraman korporasi menguasai negara semakin erat. Mengguritanya kuasa korporasi ini secara perlahan akan membawa demokrasi pada kematian. Pada hal dalam filsafat demokrasi, kebijakan publik dibuat sebagai kristalisasi aspirasi rakyat. Melalui perwakilan mereka yang dipilih via mekanisme pemilihan umum yang demokratis dengan harapan para wakil rakyat yang terpilih akan melakukan eksekusi kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.
Harapan masyarakat ini kemudian ditumpulkan oleh kuasa korporasi begitu kuat dan menciptakan dunia baru yang dioperasikan lewat kekuasaan lembaga-lembaga dunia, perusahaan transnasional, bahkan melibatkan lembaga-lembaga keuangan sebagai aktor akumulasi modal. Peran negara mulai dipinggirkan oleh kuasa korporasi, bahkan sampai peran dan tanggung jawab sosialnyapun dilumpuhkan. Dan hasil dari pelumpuhan ini adalah negara lunglai yang tunduk dan patuh pada kendali korporasi.
Negara tidak sanggup lagi memenuhi basis filsafat keberadaannya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial masyarakat. Pada saat yang sama negara begitu perkasa ketika melakukan dua hal, membangun basis legal material operasi kapitalisme dan sebagai anjing penjaga kepentingan korporasi jika ada pengganggu dari masyarakat dan mahasiswa.
Pada titik inilah terjadi kematian demokrasi, dimana negara tidak lagi berperan sebagai eksekutor kebijakan publik tapi peran negara hanya sebagai aktor yang menjalankan kebijakan publik yang telah dirancang oleh kekuatan korporasi.
Dengan lugas Herzt mengungkapkan bahwa demokrasi telah mati. Kematian demokrasi ini seiring dengan kuasa dan mengguritanya korporasi-korporasi besar penganut kapitalisme global. Semua sektor diselingkuhi oleh para kapitalis ini dengan romantis tanpa peduli dengan kehidupan masyarakat lain.
Kuasa bisnis merampas paksa kuasa negara dan menempatkannya sebagai predator yang memangsa rakyat demi kepentingan bisnis. Perampasan kuasa negara oleh korporasi membunuh hak dan wewenang para politisi, kuasa pengusaha lebih tinggi dibanding kuasa para politisi.
Matinya demokrasi ini semakin mengokohkan kuasa para korporat besar dalam menggeruk keuntungan dalam dunia bisnis. Kuatnya pengaruh dunia korporasi dalam mencampuri persoalan pemerintahan menyebabkan tumpulnya pembelaan negara atas masyarakat.
Negara tidak lagi memiliki kewenangan yang kuat untuk mengeksekusi setiap kebijakan publik, kewenangan eksekusi ini sudah ditentukan oleh kekuatan korporasi. Intervensi korporasi dalam bidang kebijakan publik dengan pasti telah menempatkan posisi negara pada sisi lunglai. Kuasa korporatis dalam menjajah kewenangan negara telah jauh mengantarkan kehidupan masyarakat dunia pada kehidupan materialisme.
Perilaku ini sengaja diciptakan untuk mempertahankan hegemoni dan dominasi korporasi untuk tetap berdiri dengan gagah dalam penguasaan ekomomi.
Sesuatu yang sulit diabad ini menemukan sektor yang tidak diselingkuhi oleh korporasi, politik dan bisnis telah melakukan perselingkuhan dengan bebas. Perselingkuhan ini terjadi pada level tingkat tinggi yang menghasilkan konspirasi bisnis-politik. Semua sektor telah disetubuhi dengan romantis dan koersif oleh korporasi.
Untuk menyamarkan perselingkuhan ini, korporasi berusaha menampilkan politik wajah kembar dimana pada satu sisi memperlihatkan kerakusan sementara pada sisi lain memperlihatkan jiwa kedermawanan yang dengan kekuatan bisnisnya mensponsori segala kegiatan amal seolah mereka adalah sosok evangelis pembela kepentingan orang banyak.
Slogan Laissez faire hanyalah sebuah argumen yang membuat cengkeraman korporasi menguasai negara semakin erat. Mengguritanya kuasa korporasi ini secara perlahan akan membawa demokrasi pada kematian. Pada hal dalam filsafat demokrasi, kebijakan publik dibuat sebagai kristalisasi aspirasi rakyat. Melalui perwakilan mereka yang dipilih via mekanisme pemilihan umum yang demokratis dengan harapan para wakil rakyat yang terpilih akan melakukan eksekusi kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.
Harapan masyarakat ini kemudian ditumpulkan oleh kuasa korporasi begitu kuat dan menciptakan dunia baru yang dioperasikan lewat kekuasaan lembaga-lembaga dunia, perusahaan transnasional, bahkan melibatkan lembaga-lembaga keuangan sebagai aktor akumulasi modal. Peran negara mulai dipinggirkan oleh kuasa korporasi, bahkan sampai peran dan tanggung jawab sosialnyapun dilumpuhkan. Dan hasil dari pelumpuhan ini adalah negara lunglai yang tunduk dan patuh pada kendali korporasi.
Negara tidak sanggup lagi memenuhi basis filsafat keberadaannya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial masyarakat. Pada saat yang sama negara begitu perkasa ketika melakukan dua hal, membangun basis legal material operasi kapitalisme dan sebagai anjing penjaga kepentingan korporasi jika ada pengganggu dari masyarakat dan mahasiswa.
Pada titik inilah terjadi kematian demokrasi, dimana negara tidak lagi berperan sebagai eksekutor kebijakan publik tapi peran negara hanya sebagai aktor yang menjalankan kebijakan publik yang telah dirancang oleh kekuatan korporasi.
0 komentar:
Posting Komentar