Setiap
musim mangga yang terjadi antara bulan September sd. Desember, kota
Jakarta selalu kebanjiran komoditas ini. Jenis yang paling banyak
diproduksi petani dan dipasarkan di Jakarta serta kota-kota besar
lainnya adalah harummanis (arummanis). Saat panen raya, harga buah ini
menjadi sangat murah. Di pasar swalayan pun, harummanis bisa dibeli
dengan harga Rp 3.000,- per kg. Meskipun normalnya Rp 6.000,- Di Pasar
Induk Kramatjati, Jakarta Timur, harga grosir harummanis yang belum
digrade, ada yang hanya Rp 1.000,- per kg. Di kios-kios buah kakilima di
Jakarta, mangga harummanis dijual dengan variasi harga antara Rp
1.000,- per buah, sampai dengan Rp 2.000,- Mangga yang dijual dengan
harga Rp 1.000,- di kakilima atau Rp 3.000,- di pasar swalayan,
kualitasnya sangat meragukan.
Bisa saja kualitas mangga itu bagus,
namun biasanya masih muda, busuk atau merupakan jenis harummanis yang
masam. Dari buah sebanyak 2 kg. yang dibeli konsumen atau sekitar 6 buah
@ Rp. 1.000,- tersebut, paling banyak yang memenuhi syarat untuk
dikonsumsi hanyalah separonya. Bahkan, mangga yang berharga Rp 2.000,-
di kakilima dan Rp 6.000,- per kg. di pasar swalayan pun, kualitasnya
juga tidak bisa dijamin. Penyebab utama rendahnya kualitas mangga yang
dipasarkan di Indonesia adalah, penanganan panen dan pasca panen yang
sangat jelek. Penanganan yang jelek ini, disebabkan oleh belum banyaknya
kebun mangga yang dikelola secara profesional.
Hampir 100% mangga
yang dipasarkan di Jakarta, baik yang di kakilima maupun yang di pasar
swalayan, seluruhnya berasal dari tanaman rakyat. Tanaman mangga
harummanis itu tersebar di sentra mangga mulai dari Subang, Indramayu,
Majalengka, Cirebon, Kuningan, Brebes, Tegal, Rembang, Gresik, Pasuruan,
Probolinggo dan Situbondo. Para pedagang sudah hafal benar asal-usul
mangga harumanis yang mereka beli berikut karakteristik buahnya. Di
sentra-sentra tersebut, tanaman mangga tumbuh di pekarangan rumah dan
kebun. Satu dua sudah ada yang mulai membudidayakan harummanis secara
monokultur di ladang maupun sawah. Namun luas areal kebun mereka masih
sebatas ratusan hingga ribuan meter persegi.
Kebun mangga skala
besar yang dikelola secara profesional, baru terdapat di Jawa Timur dan
jumlahnya hanya sekitar lima kebun. Mangga harummanis dari kebun-kebun
ini, kualitasnya memang bisa dijamin. Namun produk mereka tidak pernah
bisa masuk sampai ke pasar umum. Karena volumenya masih terlalu kecil
dibanding dengan permintaan. Padahal, di antara kebun-kebun tersebut,
ada yang menjual produk mereka dengan harga Rp 40.000,- per kg. Namun
dengan harga setinggi itu pun, produk mangga mereka masih menjadi
rebutan konsumen. Hingga sebenarnya, sampai dengan saat ini masyarakat
Indonesia masih kekurangan mangga harummanis kualitas baik. Sementara
rakyat lapis bawah sebenarnya telah membayar terlalu mahal untuk mangga
yang kualitasnya sangat rendah. Sebab dari 2 kg. mangga yang mereka
beli, belum tentu ada 1 kg. yang layak makan.
Kualitas produk
pertanian, sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh panen dan pasca panen.
Sebab benih, lahan, agroklimat, penanaman, perawatan tanaman (termasuk
pengairan), semuanya akan ikut mementukan kualitas sebuah komoditas.
Namun khusus mangga harummanis, saat ini yang paling mendesak untuk
ditangani adalah panen dan pasca panen. Populasi tanaman harummanis
produktif, saat ini sudah cukup banyak. Baik yang ada di kebun maupun
pekarangan rumah. Cara menghitung tanaman buah di Indonesia memang beda
dengan di Malaysia, Thailand atau Australia. Di Thailand, produksi
mangga dihitung dari luas areal. Misalnya di provinsi Rayong ada sekian
hektar kebun mangga yang per hektarnya akan menghasilkan sekian ton buah
per tahun. Di Indonesia satuan hektar tidak mungkin digunakan untuk
menghitung kebun mangga. Di sini satuannya adalah populasi pohon.
Karena
tanaman mangga itu tumbuh di kebun dan halaman rumah yang
terpencar-pencar, maka pemanenannya juga dilakukan dengan cara yang
spesifik. Para pedagang pengumpul akan berkeliling untuk mendatangi
pemilik pohon mangga. Para pedagang pengumpul ini bahkan sudah
mendatangi para pemilik pohon ketika tanaman ini masih pentil (masih
hijau). Dari sinilah lahir istilah para "pengijon", yakni tengkulak yang
membeli buah ketika masih pentil dengan harga sangat murah. Kalau dalam
satu pohon sudah ada satu dua buah yang masak, maka pedagang pengumpul
itu akan memanen mangga itu sekaligus. Sebab kalau mereka hanya memilih
mangga yang sudah benar-benar tua, maka pemanenan harus dilakukan
berulangkali. Selain itu juga tidak ada jaminan bahwa buah yang masih
tertinggal itu tidak diambil maling atau dimakan kalong serta codot
(kelelawar pemakan buah).
Hasil panen ini akan berupa campuran
buah yang benar-benar sudah sangat tua (masak pohon), setengah tua dan
masih muda. Buah harummanis muda yang kulit bijinya masih lunak dan
putih pun, kalau diperam akan bisa empuk. Namun daging buahnya tetap
kuning pucat dan tidak bisa menjadi oranye. Dengan pola panen seperti
ini, buah yang telah benar-benar tua hanyalah sekitar 25%, yang setengah
tua 25% dan yang masih muda juga sekitar 25%. Sisanya yang 25% berupa
buah rusak atau afkir (kecil, cacat, busuk dll). Oleh pedagang
pengumpul, mangga hasil panen ini ada yang digrede menjadi Super, A, B, C
dan D. Grade super biasanya hanya satu dua dan habis dibeli oleh
pelanggan. Grade A akan masuk toko buah. Kelas B dan C masuk ke pasar
swalayan atau kios buah. Sementara grade C dan terutama D akan diobral
di kakilima. Mangga yang telah digrade, umumnya dikemas dalam peti kayu.
Ada pula pedagang pengumpul yang langsung memasukkan mangga
hasil panen ini ke dalam keranjang besar tanpa digrade dan langsung
dikirim ke pasar induk. Para pedagang akan melakukan grading kalau
tampak bahwa kualitas A dan B volumenya lebih banyak dibanding C dan D.
Namun kalau kualitas C dan D jumlahnya lebih banyak, mereka akan
langsung mengemasnya dalam keranjang tanpa digrade dan mengirimnya ke
pasar induk. Pola semacam inilah panen mangga harummanis yang terjadi di
negeri ini. Hingga kualitas buah yang terdistribusi ke konsumen menjadi
sangat rendah. Pola panen dan perdagangan ini pernah dicoba untuk
diubah, namun tingkat keberhasilannya sangat rendah. Sebuah perusahaan
di Surabaya pernah mencoba memberikan penyuluhan kepada petani, untuk
memanen mangganya secara bertahap. Hanya yang masak pohon yang boleh
dipanen dan perusahaani itu akan membelinya dengan harga tinggi.
Ternyata respon masyarakat sangat kurang.
Namun jerih-payah
perusahaan ini sedikit banyak ada hasilnya. Sekarang di Pasuruan,
Probolinggo dan Rembang sudah mulai banyak pemilik pohon yang tidak
menebaskan buahnya (menjual borongan per pohon) ke pedagang pengumpul.
Mereka mulai bersedia memanennya secara bertahap hanya yang telah masak
pohon. Namun hasilnya juga tidak mereka jual ke perusahaan penampung,
melainkan langsung ke konsumen dengan predikat "mangga suluhan" (mangga
masak pohon). Kalau harga eceran mangga kualitas B Rp 4.500,- per kg. di
tingkat konsumen, maka mangga suluhan ini bisa mereka jual dengan harga
Rp 7.500,- per kg. Harga ini masih jauh lebih murah dibanding dengan
harga standar mangga masak pohon yang Rp 20.000,- per kg. di tingkat
konsumen.
Tingginya harga mangga masak pohon, tentu bukan hanya
disebabkan oleh tingkat ketuaannya. Bentuk, ukuran (bobot), warna dan
kemulusan kulit juga ikut menentukan tinggi rendahnya harga mangga
suluhan. Secara teknis, standar kualitas mangga harummanis ini sudah
dibakukan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) yang bisa diperoleh di
PSA (Pusat Standardisasi dan Akreditasi) Deptan. Cara pemetikannya pun
tidak bisa hanya dengan dijolok menggunakan galah, melainkan digunting
tangkainya. Setelah itu buah ditiriskan dengan cara dibaringkan di alas
kertas koran. Pemotongan dengan menyertakan tangkainya, bertujuan agar
getah yang menetes jauh dari pangkal buah hingga tidak mengotori kulit.
Pola pemetikan demikian masih belum merata diterapkan di antara para
petani penghasil mangga suluhan.
Sebenarnya, mangga suluhan dari
kebun-kebun profesional, tidak harus dikonsumsi langsung saat itu juga.
Kebun-kebun modern ini sudah bisa menyeleksi buah untuk dikonsumsi
langsung saat ini juga, dua hari lagi sampai ke seminggu kemudian. Pola
panen demikian sangat penting untuk melayani konsumen jarak jauh yang
memerlukan waktu pengiriman antara dua sd. tiga hari. Mangga-mangga
suluhan ini tidak dikemas dalam keranjang atau peti kayu model pasar
induk, melainkan dalam kardus khusus dengan nama jenis mangga dan
perkebunan penghasilnya. Mangga-mangga demikian dengan kelas super, bisa
berharga sampai Rp 40.000,- per kg. isi dua buah (@ 0,5 kg). Hingga
harga satu butir mangga itu mencapai Rp 20.000,-
Sebenarnya,
petani pemilik satu dua pohon mangga di halaman rumah, potensial untuk
memanen mangganya dengan pola masak pohon. Kalau kemudian petani
bersedia mengairi tanaman mereka pada saat kemarau, memupuknya dengan
NPK dan menyemprotnya agar tidak terserang penggerek batang, maka
hasilnya akan bisa meningkat duakali lipat. Padahal biaya untuk membeli
NPK @ tanaman 2 kg. hanyalah Rp 8.000,- Kalau hasil per pohon sebelumnya
50 butir @ Rp 1.000,- maka dengan pemupukan dan penen masak pohon,
hasilnya akan menjadi 100 butir dengan harga Rp 2.500,- per buah.
Penghasilan petani dari tiap tanaman akan naik dari semula Rp 50.000,-
mejadi Rp 250.000,- Namun saat ini kita belum berani membicarakan faktor
pengairan dan pemupukan ke pemilik pohon harummanis. Sebab dengan
memanen masak pohon pun, sebenarnya sudah dicapai kemajuan luarbiasa.
0 komentar:
Posting Komentar